Selasa, 31 Mei 2022

MENGAWAL KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN DARING

 

MENGAWAL KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN DARING

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*

 

Pembelajaran dalam jaringan (Daring)  sudah menjadi sebuah keharusan dilakukan oleh sekolah. Kebijakan itu ditempuh sebagai dampak pandemi Covid 19 yang hingga saat ini belum bisa dipastikan kapan akan segera berakhir. Bahkan kondisinya semakin memburuk sehingga pemerintah memberlakukan PKKM Darurat. Sekolah  normal seperti sebelumnya ibarat sebuah mimpi yang diharapkan oleh peserta didik, orang tua, guru dan stakeholder pendidikan.

Berbagai kebijakan dikeluarkan terkait bidang pendidikan. Misalya Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 3 tahun 2020 tentang pencegahan Covid 19 di satuan pendidikan, Surat Edaran Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan nomor 4 tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran covid 19, dan Surat Edaran No 1 tahun 2021 tentang peniadaan ujian nasional dan ujian kesetaraan serta pelaksanaan uji sekolah dalam masa darurat penyebaran covid 19. Kebijakan terbaru tercantum dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri,  dan Menteri Kesehatan yang ditandatangani pada tanggal 31 Maret 2021 tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi Covid 19. Terdapat beberapa ketentuan penyelenggaraan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas. Tentu saja tujuan dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah agar pendidikan tidak kehilangan jati dirinya dan tetap bisa meraih tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II pasal 3 yaitu “…bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Merefleksi pembelajaran daring dengan segenap inovasinya dan dikorelasikan dengan aspek perilaku atau sikap peserta didik sebagai bagian dari ranah afektif, penulis ingin berbagi pengalaman yang dialami. Beberapa hari yang lalu penulis mengikuti sebuah tayangan live sebuah podcast melalui youtube yang diselenggarakan oleh sebuah sekolah dasar. Kebetulan temanya menarik yaitu tentang literasi pada anak sekolah dasar dan yang menjadi narasumbernya adalah anak berprestasi dari SD tersebut yang memiliki beberapa karya berupa buku yang sudah diterbitkan. Semua siswa dari kelas 2 sampai kelas 6 diminta untuk melihat dan menyimak dengan baik isi dari podcast tersebut. Kemudian diberikan tugas yang relevan. Sebagai sebuah inovasi dalam pembelajaran daring, tentu ini patut diacungi jempol.  Tetapi ada yang mengganjal dalam hati penulis yaitu live chat  yang dibuka dan dikomentari oleh para siswa sekolah dasar tersebut.  Isinya tidak hanya memberi salam, saling sapa kepada teman-teman yang lain karena sudah lama tidak bertemu, tetapi justru didominasi oleh kata-kata yang  tidak ada korelasinya dengan materi podcast yang dilaksanakan. Ada yang berbicara tentang  game, tentang bintang K Pop, saling hujat ke temannya, dan tulisan lain yang tidak sepantasnya dimasukkan di forum tersebut. Sehari kemudian Sekolah yang memiliki akun youtube telah  menghapus isi live chat tersebut.

Pada kesempatan lainnya, penulis sempat berbicara dengan beberapa orang tua yang anaknya masih duduk di Taman Kanak-Kanak (TK). Mereka bercerita ketika anak-anaknya mengikuti pembelajaran daring dengan menggunakan zoom atau google meeting. Seringkali mereka mematikan videonya, hanya mendengarkan suara gurunya sambil beraktivitas lainnya, bahkan ada juga yang tiduran sampai tertidur, sehingga membiarkan gurunya berbicara sendiri. Masih banyak lagi cerita unik pembelajaran pada anak usia TK.

Kejadian yang penulis paparkan di atas adalah satu dari sekian banyak kejadian serupa yang bisa jadi sudah terjadi di pendidikan di Indonesia sekarang ini. Baik di jenjang pendidikan dasar maupun jenjang pendidikan menengah. Esensinya adalah apa yang ditulis di live chat tersebut adalah sebuah pesan moral bahwa peserta didik kita sudah mengalami dekadensi sikap dalam pembelajaran. Mereka pasti tahu bahwa dalam forum tersebut pasti ada guru, orang tua, dan semua orang yang melihat tayangan tersebut tetapi disadari atau tanpa disadari beberapa komentar tersebut tetap ditulisnya. Begitu juga dengan sikap anak TK yang sudah terlihat jelas menunjukkan kejenuhan dengan pembelajaran daring ini. Pertanyaannya adalah apa yang seharusnya dilakukan? Siapa yang salah dalam hal ini? Bukankah sudah tidak diragukan lagi jika adab harusnya dikedepankan daripada ilmu? Disinilah kita perlu menekankan pentingnya pendidikan karakter pada masa pandemi selama pembelajaran daring.

 Pertama, Garda terdepan dalam mengawal pendidikan anak selama pandemi ini adalah orang tua.  khususnya bagi anak yang masih menempuh pendidikan di jenjang pendidikan usia dini dan dasar. Gawai yang digunakan anak seharusnya mendapatkan pengawasan secara ketat dari orang tua agar tidak disalahgunakan untuk keperluan selain pembelajaran, seperti game online atau bermedia sosial lainnya yang justru akan dapat menurunkan motivasi untuk belajar. Pendampingan selama pembelajaran daring juga perlu dilakukan orang tua. Hal yang kelihatannya sederhana tetapi terkadang sulit dilakukan khususnya bagi orang tua yang bekerja. Meskipun demikian, hal ini harus tetap dilakukan sebagai tanggung jawab orang tua terhadap masa depan anak-anaknya. Manajemen waktu yang baik seharusnya dilakukan orang tua di rumah. Berbagi peran dengan ayah, ibu, atau orang yang lebih dewasa di rumah untuk pengawasan dan pendampingan pembelajaran daring di rumah.

Kedua, Sekolah dan guru harus terus berinovasi dalam melaksanakan pembelajaran. Harus diakui bahwa peserta didik sudah jenuh dengan pembelajaran daring, tetapi inovasi dalam metode pembelajaran harus dilakukan. Guru tidak boleh sekedar menggugurkan tugasnya dalam mengajar dengan memberikan tugas saja, apalagi hasil tugas itu tidak diberikan feedback untuk anak didiknya. Metode blended learning dapat dilakukan sebagai sebuah inovasi dalam pembelajaran. Jika menggunakan platform zoom meeting, google meet, sebaiknya dilakukan dengan jumlah yang terbatas sehingga memungkinkan bisa berinteraksi dengan siswa atau terjadi dialog. Layanan individual juga dapat dilakukan oleh sekolah sebagai upaya menjaga kualitas pembelajaran, karena setiap anak tentu memiliki daya serap yang berbeda. Tentu saja untuk layanan individual ini harus dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan jika dilakukan secara tatap muka dan bisa juga secara daring. Yang tidak kalah pentingnya adalah pembinaan sikap peserta didik. Merujuk pada contoh yang disajikan penulis di atas, maka diperlukan pembinaan agar peserta didik bijak bersikap dalam menulis di media sosial. Sekolah sudah saatnya memberikan pendidikan atau sosialisasi UU No 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik sebagaimana telah dirubah dalam UU No 19 tahun 2016 sehingga nantinya dapat diantisipasi pelanggaran undang-undang tersebut yang dilakukan oleh anak usia sekolah.

Ketiga, Kerjasama dan komunikasi antara pihak sekolah dengan orang tua. Bagaikan satu tubuh, maka orang tua dan sekolah harus saling bersinergi dalam melaksanakan pendidikan. Banyak cara yang dapat dilakukan meskipun tidak bisa bertatap muka. Teknologi bisa menjadi solusi agar komunikasi dua arah dapat berjalan dengan baik. Antara guru dengan orang tua, antara orang tua satu dengan yang lain, antara kepala sekolah dengan orang tua. Paguyuban orang tua murid dan guru harus diaktifkan sehingga akan terwujud program-program kerja bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan akibat pembelajaran daring selama pandemi ini. Kata kuncinya adalah semua upaya dilakukan demi perkembangan pembelajaran dan kepentingan peserta didik.

Ketiga, guru harus selalu mengingat dan mengimplementasikan 18 karakter dalam proses pembelajarannya, yaitu religius, jujur, toleransi, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Dari kedelapan belas nilai karakter tersebut, pengembangannya sesuai dengan analisis konteks dan kebutuhan di masing-masing satuan pendidikan. Bagi guru dalam megembangkan materi pembelajaran harus juga menganalisis materi pembelajaran yang disesuaikan dengan masing-masing nilai karakter tersebut.

Keempat, orang tua wajib menanamkan pendidikan karakter di keluarga karena ini akan menjadi pilar bagi pembentukan karakter anak sebagai bekal hidup di masyarakat kelak. Orang tua memberikan contoh teladan dalam pembiasaan kegiatan untuk mematuhi anjuran pemerintah selama pandemi covid 19. Mematuhi  protokol kesehatan dalam beraktivitas di rumah dan lingkungan sekitarnya. Pembiasaan ini sangat penting, karena akan terbawa dalam lingkungan sekolah yang tentunya akan melaksanakan protokol kesehatan apabila kebijakan tatap muka terbatas dilaksanakan seusai PKKM darurat, PKKM level 3 atau level 4. Kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun, memakai masker, menjaga jarak dan perilaku hidup bersih dan sehat akan menjadi modal dasar bagi anak untuk bisa beradaptasi dalam pembelajaran di masa pandemi seperti sekarang.

Pendidikan adalah suatu yang esensial bagi pembangunan dan masa depan bangsa Indonesia. Sumber daya manusia yang unggul inilah nantinya yang diharapkan bisa membawa Negara Indonesia menjadi lebih baik lagi setelah diporak porandakan oleh pandemi global ini. Karena itu pendidikan harus tetap diutamakan, tetap bisa bangkit di tengah badai pandemi, dan untuk bisa bangkit diperlukan kerjasama dan peran serta masyarakat, pemerintah, guru, orang tua dan peserta didik. Semoga pandemi segera berakhir dan kita sambut masa depan pendidikan di era new normal.

TENTANG  PENULIS

Dr. Hariyanto, M.Pd lahir di Lamongan pada tanggal 8 Mei 1974. Pengalamannya di dunia pendidikan dimulai sebagai guru di beberapa lembaga pendidikan dasar dan menengah. Alumni Program doktor Ilmu pendidikan UNS Surakarta ini juga megajar di perguruan tinggi.