KORELASI
OTONOMI DAERAH DAN OTONOMI PENDIDIKAN
Oleh: Hariyanto
Latar Belakang
Reformasi yang
terjadi di Indonesia telah mengakibatkan pergeseran penyelenggaraan
pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Pergeseran ke desentralisasi
membuat daerah memiliki otonomi penuh. Otonomi ini dimaksudkan untuk lebih
memandirikan daerah dan memberdayakan potensi daerah masing-masing, serta
masyarakat, sehingga lebih leluasa mengatur dan melaksanakan pembangunan daerah atas prakarsa sendiri.
Pemberian
otonomi yang luas dan bertanggung
jawab dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi. Prinsip demokrasi mengisyaratkan
peran serta masyarakat dengan memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah.
Selain itu wujud otonomi berada pada titik
sentral di tingkat wilayah yang paling dekat dengan rakyat, yaitu kabupaten dan
kota.
Pendidikan
merupakan salah satu komponen dalam pembangunan daerah. Berdasarkan UU otonomi
pendidikan juga memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Walaupun dalam arti menjadi bagian dari
komponen-komponen pembangunan daerah. Sebenarnya
komponen pendidikan merupakan komponen utama pembangunan daerah. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di
daerah, pendidikan harus menjadi ujung tombak pembangunan daerah.
Meskipun otonomi pendidikan sudah ada dalam peraturan dan regulasi otonomi daerah, tetapi dalam kelembagaan dan sikap akademik guru, kepala sekolah dan Dinas Pendidikan sebagai atasannya belum menunjukkan suatu sinkronisasi. Pemerintah Daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang jelas, dan yang mereka lakukan bahwa otonomi pendidikan masih memerlukan waktu untuk sosialisasi bagi Dinas Pendidikan di tingkat daerah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat pada umumnya.
Secara
konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama, desentralisasi
kewenangan di sektor pendidikan
dalam hal kebijakan pendidikan dan
aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah (propinsi dan distrik), dan kedua,
desentralisasi pendidikan dengan fokus
pada pemberian kewenangan yang lebih besar di
tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan
yang pertama terutama berkaitan dengan
otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan
pemerintahan dari pusat ke daerah,
sedangkan konsep desentralisasi pendidikan
yang memfokuskan pada pemberian
kewenangan yang lebih besar pada tingkat
sekolah dilakukan dengan motivasi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
Dalam
perspektif pendidikan, otonomi daerah identik dengan desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan sebagian atau
seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit atau
pejabat dibawahnya, atau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, ataupun
dari pemerintah kepada masyarakat. Tujuan desentralisasi pendidikan adalah
untuk meningkatkan performansi di dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan
yang secara garis besar terkait dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang
telah ditetapkan, seperti pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi
pendidikan, dan efektivitas/efisiensi pengelolaan.
Pemikiran
tersebut memberikan implikasi bahwa institusi/lembaga pendidikan mendapatkan
kebebasan untuk merumuskan program-program pendidikannya secara
kongkrit-operasional sesuai dengan kebutuhan daerah. Untuk itu, berhasil
tidaknya pendidikan di daerah tergantung pada profesionalisme tenaga
kependidikannya, di samping juga dukungan dana yang memadai. Di sinilah tenaga kependidikan dituntut untuk meningkatkan diri menjadi
profesional agar dia mampu melahirkan pemikiran yang produktif, inovatif, dan
dinamis sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Bentuk
profesionalisme lain bagi tenaga kependidikan adalah mampu menjaring berbagai
potensi yang dimiliki masyarakat, baik potensi fisik maupun nonfisik. Upaya ini
sekaligus bentuk penguatan dari konsep community based education (pendidikan
berbasis masyarakat) yang melibatkan sepenuhnya masyarakat dalam pengembangan sekolah/madrasah.
Keterlibatan masyarakat ini misalnya: penyusunan kurikulum, penyedia dana,
penjaga dan penilai standar mutu sekolah/madrasah.
Berkaitan
dengan profesionalisme ini, Djohar (1996) melakukan sintesis mengenai jalan
yang terbaik untuk peningkatan dan perbaikan organisasi pendidikan secara terus
menerus berdasarkan penelitian beberapa pakar pendidikan dan non kependidikan,
seperti Drucker (1992), Fullan (1993), Hammond (1996) dan Covey (1996) sebagai
berikut:
1. Hanyalah organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga
yang memiliki keinginan besar untuk belajar yang akan berpengaruh secara abadi.
2. Setiap perusahaan termasuk usaha jasa pendidikan
harus menjadi suatu institusi belajar. Karena organisasi atau lembaga yang menciptakan suasana belajar secara kontinyu dalam pekerjaannya akan mendominasi abad 21.
3. Perusahaan yang paling sukses di masa depan akan
menjadi suatu organisasi belajar.
4. Problem baru dari perubahan ialah tindakan apa yang
perlu diambil untuk membuat sistem pendidikan sebagai organisasi belajar, bukan hanya untuk menanggapi kebijakan tetapi juga sebagai cara hidup.
5. Jika lembaga pendidikan ingin mempertinggi kapasitas
organisasinya untuk meningkatkan belajar peserta didik, mereka hendaknya bekerja atas bangunan suatu masyarakat yang profesional, yang bercirikan: adanya kesamaan visi dan misi, keinginan kolaboratif, dan tanggungjawab kolektif di antara staf.
6. Bagaimanapun
pembaharuan lembaga pendidikan harus diarahkan pada upaya terwujudnya masyarakat belajar yang profesional. (Djohar, 1999:63).
Korelasi
Otonomi Daerah dan Otonomi Pendidikan
Dalam
perspektif pendidikan, otonomi daerah identik dengan desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan sebagian atau
seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit atau
pejabat dibawahnya, atau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, ataupun
dari pemerintah kepada masyarakat. Tujuan desentralisasi pendidikan adalah
untuk meningkatkan performansi di dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan
yang secara garis besar terkait dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan, seperti pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi
pendidikan, dan efektivitas/efisiensi pengelolaan.
Pemikiran
tersebut memberikan implikasi bahwa institusi/lembaga pendidikan mendapatkan
kebebasan untuk merumuskan program-program pendidikannya secara
kongkrit-operasional sesuai dengan kebutuhan daerah. Untuk itu, berhasil
tidaknya pendidikan di daerah tergantung pada profesionalisme tenaga
kependidikannya, di samping juga dukungan dana yang
memadai. Di sinilah tenaga kependidikan dituntut untuk meningkatkan diri menjadi
profesional agar dia mampu melahirkan pemikiran yang produktif, inovatif, dan
dinamis sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Dari
pernyataan diatas secara implisit tersirat sebuah manfaat di bidang pendidikan,
yaitu: Sekolah memiliki keleluasaan yang
lebih untuk mengelola pendidikannya. Tentu saja keleluasaan yang masih dipagari
peraturan perundangan yang berlaku. Sekolah bisa mendapatkan dana bantuan
operasional dan menggunakannya secara langsung sesuai juknis yang ada. Jika SDM
di sekolah adalah SDM yang sudah unggul (guru, kepsek, staffnya), memiliki
inovasi, kompetensi dan kejujuran dalam mengelola pendidikan dengan dukungan
masyarakat dan pemerintah daerah, maka bisa dipastikan kualitas pendidikan di
sekolah akan cepat meningkat. Tetapi begitu juga sebaliknya.
Dampak
negative dari bantuan operasional sekolah, BPOPP, dan kewenangan untuk
mendapatkan dana dari masyarakat untuk keperluan pendidikan adalah bisa
diselewengkan, disalahgunakan oleh oknum sekolah, jika pengawasannya lemah.
Jika komite sekolah tidak melakukan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana
diatur oleh peraturan yang ada.
Dengan
demikian, kesiapan sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan jajarannya juga
memiliki peran penting. Pada sekolah negeri yang melakukan seleksi pengangkatan
kepala sekolah oleh pemerintah, mungkin bisa dipilih kepala sekolah yang
benar-benar kompeten dan berpengalaman, tetapi bagaimana dengan sekolah swasta
yang pengangkatan dan penunjukannya terkadang sesuai dengan kehendak
penyelenggara pendidikan/ yayasan? Tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan
kompetensi yang dimilikinya.