Rabu, 17 April 2024

CERPEN: BALADA SUNGAI BAJUL

  

BALADA SUNGAI BAJUL
Oleh: Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto

     Thania Putri Ekasari namaku, biasa dipanggil Thania. Aku adalah anak tunggal, oleh karena itu aku selalu dimanja. Tetapi aku inginnya mandiri. Ibuku bernama Maya, dan ayahku bernama Heri. Aku tinggal di Desa Talun, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, sebuah desa yang terletak di lereng bukit Pancuran. Bukit yang sudah tidak lagi sejuk dan segar udaranya seperti bukit-bukit lainnya, karena banyak sekali batu-batuannya sudah diambil orang untuk dibakar dan dijadikan batu kapur. Asap dari Jubung, tempat pembakaran batu gamping silih berganti tidak pernah padam membumbung hitam.

Pagi itu ibuku tidak masak, karena hari Sabtu. Memang kalau hari Sabtu dan Ahad ibu tidak masak, tetapi membeli makanan. “Nia… Ibu ke warung dulu ya…” Ibu memanggilku.

“Ya, Bu…” Jawabku sambil menyalakan TV. Aku menonton acara TV kesukaanku.

“Kreek…” terdengar suara pintu depan terbuka, ternyata ibu.

“Nia… Ayah… Ayo sarapan dulu.” Kata ibu sambil menarik kursi meja makan. Serentak aku dan ayah menuju ke meja makan, karena memang sudah lapar.

“Bu.., hari ini Ibu beli apa?” Tanyaku kepada ibu.

“Hari ini kita sarapan nasi kuning.” Sahut ibu sambil mengulurkan dua bungkus nasi kuning kapada aku dan ayah. Kami pun makan bersama sambil bercengkerama pagi itu.

“Bu.., aku boleh jalan-jalan ke atas bukit?” Pintaku kepada ibu.

“Boleh.., tapi hati-hati ya.” Jawab ibu mengizinkan setelah meminta persetujuan ayah.

“Ini.., Ibu nitip bungkusan ini, berikan Nenek Siti yang tinggal di lereng atas bukit, kasihan dia hidup sebatangkara.” Kata ibu sambil memberikan satu bungkus nasi kuning.

“Baik Bu..,” jawabku seraya memakai sepatu dan segera menuju keluar rumah untuk berlari pagi ke atas bukit yang tidak seberapa jauh dari rumahku. Aku berlari-lari, bernyanyi, sambil melihat orang-orang yang membakar batu di Jubung. Ada juga yang sedang memecahkan batu-batuan. Mereka memang para pekerja keras, sepagi ini sudah bekerja memeras keringat.

Tidak terasa, aku pun sampai ke rumah Nenek Siti. Aku mulai mencium bau busuk dari sungai. Bau yang disebabkan oleh tumpukan sampah yang dibuang ke sungai, meskipun airnya sudah hampir tidak ada. Suasananya masih sepi.

“Assalamu’alaikum, Nek…” sapaku sambil mengetuk pintu rumahnya.

“Wa’alaikumussalam…”Terdengar suara bergetar menjawab salam dari dalam rumah. Sambil membuka pintu, nenek Siti berjalan tertatih-tatih menyambutku. Punggungnya yang sedikit membungkuk seolah menandakan beban berat kehidupan yang dialaminya.

“Ada apa nduk.., pagi-pagi sudah datang kesini?”

“Ini lho Nek, ada nasi kuning dari Ibu, bisa buat sarapan nenek.” jawabku sambil mengulurkan bingkisan kepada nenek Siti.

“Terima kasih nduk.., kamu baik sekali.” Jawab nenek Siti. 

“Sama-sama Nek Siti.” Sahut aku segera.

Kami pun berbincang-bincang sebentar di teras rumah. Nenek Siti ternyata pandai bercerita tentang zaman dulu, yang lebih menyenangkan dari pada dongeng tentang Peri. Setelah beberapa lama berbincang, aku pun pulang karena khawatir ibu mencemaskanku.

“Salam dan sampaikan terima kasihku untuk Ibumu juga Bapakmu” Kata nenek sesaat setelah aku beranjak dari rumahnya. Sepanjang jalan pulang, Aku berfikir ternyata Nenek Siti ini memiliki ingatan yang kuat, kejadian-kejadian di masa lalu bisa diceritakan dengan tidak membosankan.

“Assalamu’alaikum Bu… Aku pulang…”  Aku masuk tanpa mengetuk pintu depan.

“Kamu itu kemana saja Nia? Dari tadi belum pulang. Ayahmu mencari kamu, barusan dia juga berangkat ke bukit untuk mencari kamu.” Tanya Ibu menyelidik.

“Tadi aku ke rumah Nenek Siti, terus dia bercerita tentang banyak hal.”

“Oo, begitu.” Akhirnya Ibu bisa tenang dan lega. Aku pun masuk ke kamarku untuk memutar lagu kesukaanku melalui head setHead set ini adalah hadiah ulang tahunku ke -11 dari ayah.

Malam itu rasanya aku tidur nyenyak sekali. Menjelang subuh aku terbangun. Ayam-ayam sudah berkokok ramai menyambut pagi. Matahari pun bersiap hendak menampakkan dirinya. Seperti biasa, setelah selesai sholat Subuh, aku bersiap-siap olahraga sekedar berjalan-jalan pagi. Pagi ini, Aku akan jalan-jalan di lereng bukit Pancuran. Kali ini ibu juga menitipkan bingkisan untuk nenek Siti. Setelah beberapa saat menjelajahi lereng bukit tampaklah rumah nenek Siti. Ada sesosok wanita tua yang tengah duduk tertegun di serambi samping rumahnya seraya memandangi ke arah sungai Bajul yang sudah kering kerontang itu.

“Assalamu’alaikumNek. Sapaku seketika membuyarkan lamunannya. Nenek Siti agak terkejut.

”Wa..wa’alaikumsalam…, eh.., eh.., kamu Nia” 

“Lagi ngapain Nek? Melamun ya…?” Aku menggoda nenek Siti sambil menyerahkan bingkisan dari ibu.

“Ini nek…, ada nasi pecel dari Ibu untuk Nenek.”

“Terima kasih nduk, alhamdulillah…, kebetulan Nenek juga belum sarapan.” Jawabnya sambil beranjak menuju teras depan rumahnya. Aku mengikutinya dari belakang.

“Nek.., kalau Aku perhatikan Nenek sering sekali melamun sambil melihat ke arah Sungai Bajul, kenapa sih Nek?” tanyaku penasaran. Nenek hanya terdiam sambil memandangi aku. Ada gurat kesedihan di wajahnya.

Sambil menghela nafas panjang dia berkata, “Baiklah, Nenek akan bercerita padamu sebuah peristiwa yang terjadi sekitar lima belas tahun silam.”

“Baiklah Nek, Nia jadi penasaran ingin mendenrakan.” Kataku sambil beringsut duduk disamping nenek Siti.

“Pagi itu, tepatnya hari Jum’at, seperti biasa Kakek Sanusi, suami Nenek sedang mencari rumput di atas bukit. Rumput itu untuk makan sapi yang kami miliki. Setelah mencari rumput, Kakek Sanusi segera memandikan sapi miliknya di sungai Bajul. Saat itu Nenek sedang menjemur baju di samping rumah. Sementara anakku Novi juga sedang sekolah di SD.” Nenek Siti mengawali ceritanya sambil duduk di kursi kayu yang sudah usang di teras depan rumahnya. Hanya ada dua kursi kayu disitu. Aku duduk di kursi sebelah Nenek Siti.

“Sungai Bajul airnya kurang bening saat itu, tidak sebening dulu waktu Nenek masih kecil, tetapi masih bisa dimanfaatkan untuk memandikan hewan. Airnya tidak banyak lagi, mungkin karena air tidak bisa meresap dalam tanah, sehingga apabila hujan, airnya menjadi berwarna merah bercampur lumpur.”

 “Sekitar jam sembilan pagi, nenek mendengar suara gemuruh dari atas bukit, awalnya Nenek mengira itu adalah suara mesin Bego yang sedang mengeruk batu-batuan di atas bukit. Tetapi, semakin lama semakin keras dan terasa semakin dekat suaranya. Nenek pun melihat ke arah atas bukit, dan alangkah terkejutnya begitu melihat banjir bandang terjadi, Air bercampur lumpur dan bebatuan meluncur deras ke arah sungai Bajul. Seketika nenek berteriak sekeras-kerasnya memanggil Kakek Sanusi yang masih memandikan sapi di tengah sungai.” Nenek Siti berhenti bercerita sebentar, menghela nafas dalam-dalam.

Aku merasakan kesedihan yang mendalam dari Nenek Siti. Ada butiran bening mulai merembes keluar dari sudut mata yang sudah keriput itu. Sesaat kemudian dia melanjutkan ceritanya.

“Menyadari ada bahaya yang akan terjadi, kakek Sanusi langsung berusaha menyelamatkan diri. Dengan sekuat tenaga, kakek berusaha menyeret sapinya, tetapi tidak juga berhasil. Akhirnya Nenek ikut membantu. Nenek sudah mengingatkan untuk menyelamatkan diri. Tapi kakek tetap berusaha menyelamatkan sapinya. Nenek sangat khawatir, banjir bandang sudah hampir dekat tapi kakek tak peduli.” Sejenak Nenek Siti terdiam.

“Terus, apa yang terjadi selanjutnya Nek?” Tanyaku penasaran bercampur cemas.

“Nenek sudah berteriak sekeras-kerasnya minta tolong ke warga, tapi nampaknya sia-sia. Gemuruh banjir bandang mengalahkan suara Nenek. Hanya tiga orang yang mendengar dan datang. Mereka langsung berusaha menolong kakek. Kakek baru menyadari bahwa bahaya mengancam nyawanya, dia berusaha untuk menepi dan naik ke atas sungai. Tapi tiba-tiba ada batu besar yang menggelinding cepat ke arah Kakek. Kakek mencoba untuk menghindar, tetapi tidak berhasil. Batu besar itu menghantam kepala Kakek Sanusi hingga terjerembab jatuh ke sungai dan terseret banjir bandang itu. Nenek mencoba untuk turun ke sungai. Nenek tak peduli nyawa Nenek. Nenek pasrah demi Kakek. Warga melarang Nenek dan menarik tangan Nenek, tapi Nenek terlepas.” Kata Nenek sambil terisak sedih.

“Hmm.., maaf ya Nek, Thania jadi membuat Nenek sedih begini.” Kataku memelas, karena kasihan melihatnya terisak sambil mengusap air matanya dengan sudut kain bajunya.

“Tidak apa-apa nduk.., biar Nenek ceritakan semua, agar lega hati Nenek.” jawabnya mencoba tegar.

“Kemudian apa yang terjadi setelah Nenek jatuh ke sungai Bajul?” tanyaku kepada nenek sambil mengulurkan selembar tisu dari saku celanaku untuk mengeringkan air matanya.

“Nenek pun terseret banjir bandang itu. Sesaat Nenek sempat melihat tubuh Kakek Sanusi terseret derasnya banjir, setelah itu Nenek tidak ingat apa-apa lagi. Ternyata Nenek pingsan waktu itu, dan warga berhasil menyelamatkan Nenek. Tapi malangnya, Kakek sudah meninggal, sapinya juga mati. Kakek ditemukan 200 meter dari tempat pertama kali dia terseret banjir bandang. Terdapat luka parah di kepalanya, luka-luka dan lebam hampir di sekujur tubuhnya. Sedangkan Nenek ditemukan selamat dengan luka yang sangat banyak.” Nenek Siti mengakhiri ceritanya sambil berdiri memandang ke arah sungai Bajul.

“Begitulah Thania, sampai sekarang Nenek masih mengingat dengan jelas kejadian itu.” Kata nenek Siti sambil berurai air mata. Aku merasa bersalah mengingatkan kejadian yang menyedihkan itu.

“Lalu, dimana Novi sekarang Nek? Bukankah tadi nenek cerita kalau punya anak bernama Novi?” Tanyaku penasaran.

Sambil menghembuskan nafas berat nenek Siti berkata,” Novi, anak Nenek satu-satunya pergi merantau ke Malaysia, dia bersikeras pergi karena ingin merubah nasib, dia tidak tahan hidup miskin seperti ini. Tapi sayangnya sejak dia pergi dan berhasil menjadi kaya, dia melupakan ibunya.” Suara nenek menjadi serak hampir tak terdengar. Dia tak lagi bisa menahan air matanya keluar deras dari kedua matanya.

“Apakah Novi tidak kasihan kepada nenek ya?” tanyaku polos kepada nenek Siti.

“Entahlah.., sejak Novi ditinggal ayahnya, Novi selalu minta apa yang diinginkannya. Padahal Novi tahu, bahwa ibunya ini hanya berkerja di Jubung. Novi sering meminta uang dalam jumlah yang banyak, tetapi nenek dapat dari mana? Untuk makan saja sulit.” Kali ini ekpresi Nenek agak kesal.

“Mengapa mbak Novi begitu ya nek..?” sahutku lirih tetapi masih didengar nenek Siti.

“Ya, beginilah nasib Nenek. Saat itu Novi minta bakso, karena bosan makan Tahu dan Tempe setiap hari. Tapi uang Nenek tidak cukup. Novi sangat kesal karena banyak keinginannya yang belum tercapai. Novi tidak tahan hidup miskin seperti ini.” Cerita nenek sambil melihat ke arah langit yang semakin terang karena sinar matahari yang terik.

“Sejak kapan Novi pergi dari rumah Nek” tanyaku menyelidik.

“Sejak dia lulus SMP.” Jawab Nek Siti singkat.

“Nenek pasti kesepian hidup seorang diri seperti ini.” Kataku sambil memegang tangan keriput nenek Siti.

“Ya, pastilah nduk…apalagi Novi pergi tanpa berpamitan baik-baik, Novi langsung pergi dengan membawa kopernya. Nenek merasa sedih karena Novi berubah jadi seperti itu. Dulu Novi tidak seperti itu, dia suka menolong orang, dan menerima apa adanya.” Sesaat suasana hening, kami pun sama-sama terdiam.

“Sampai sekarang Novi tidak pernah pulang Nek?” tanyaku seolah tidak percaya.

“Suatu hari Nenek melihat mobil bagus lewat di ujung jalan sana. Ternyata yang membawa mobil itu adalah Novi. Sekarang dia sudah sukses. Nenek bangga melihat Novi sukses.” Kata Nenek Siti sambil menatapku.

“Syukurlah, Nek.” Kataku singkat tetapi dalam hati timbul pertanyaan baru. “Kalau Novi sudah berhasil, jadi orang kaya, mengapa Nenek tidak diajak ke rumahnya? Tanyaku polos.

“Novi tidak ingat lagi dengan ibunya, ibu yang telah mendoakannya, dan membesarkannya. Dengan bantuan para tetangga, akhirnya Nenek mengetahui alamat rumah Novi. Sayangnya, saat Nenek mengunjunginya, Novi pura-pura lupa terhadap Nenek. Hari berikutnya, nenek pergi ke rumah Novi lagi. Nenek mengetuk pintunya, dan Novi membuka pintu sambil marah-marah kepada nenek. Dia bahkan tidak memperbolehkan Nenek masuk.” Jawab Nenek panjang lebar.

 “Sampai sekarang pun, Novi tidak pernah ke rumah Nenek?” sahutku seolah tidak percaya kalau ada seorang anak yang setega itu.

“Ya, Thania, lengkap sudah Nenek menerima cobaan hidup ini.” Katanya memelas.

“Terakhir Nenek mendengar kalau Novi kembali ke Malaysia. Rumahnya dijual. Novi telah memulai hidupnya di negara asing. Nenek terus mendoakannya setiap selesai shalat. Semoga suatu saat dia akan kembali ke jalan yang benar.”

“Aamiin…” sahutku spontan.

“Begitulah cerita anak nenek, Novi. Nenek berharap, kamu jangan sampai seperti Novi. Jangan lupakan orang tuamu. Karena merekalah yang melahirkanmu, merawatmu, membesarkanmu, mendidikmu dengan penuh kasih sayang. Tetap ingatlah orang tuamu.” Nasehat nenek Siti kepadaku.

“Ya, Nek…Terima kasih telah mengingatkan.” Jawabku berterima kasih.

Sesaat suasana menjadi sepi, aku tidak tega lagi bertanya kepada Nenek Siti. Betapa sedihnya nasib Nenek Siti. Akhirnya aku pun mohon diri.

Pagi itu aku pulang dari rumah nenek Siti, menuruni bukit Pancuran dengan membawa pelajaran hidup yang berharga. Aku merasa bersyukur masih memiliki kedua orang tua yang menyayangi. Aku tidak akan membiarkan orang tuaku bersedih seperti nenek Siti. Aku juga mendapatkan pelajaran dari cerita Nenek, bahwa alam menjadi tidak bersahabat dengan manusia karena disebabkan manusia itu sendiri. Banjir bandang terjadi karena pohon-pohon ditebang. Batu-batu di bukit Pancuran dikeruk untuk dijadikan batu gamping tanpa peduli dengan akibatnya. Cerita sedih dari masa lalu nenek Siti di sungai Bajul dan perjalanan hidupnya memberikan pelajaran yang berharga bagiku.

*Cerpen ini telah diterbitkan oleh penulisnya dalam buku Antologi Cerpen: Menggapai Harapan